EFEK SAMPING OBAT YANG TIDAK BISA DIPERKIRAKAN
Macam-macam Efek Samping
Mekanisme
reaksi efek samping obat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu reaksi intrinsic
(reaksi yang bisa diprediksi) dan reaksi idiosyncratic (reaksi yang
tidak bisa diprediksi).Ada 2 faktor yang menjadi penyebab munculnya Efek samping yaitu :
1. Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal
dari obat antara lain adalah:
a) Intrinsik
dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,
penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b) Ekstrinsik
di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran
oleh antibiotika.
2. Faktor obat
a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk
menimbulkan efek samping.
b) Pemilihan obat.
c) Cara penggunaan obat.
d) Interaksi antar obat.
Berikut ini beberapa pengelompokan efek
samping obat yang lain:
1. Obat Tipe A
Efek Samping Tipe A adalah efek samping yang sudah
terdeteksi saat uji klinik, berkaitan dengan dosis (dose-related) dan timbul
berkaitan dengan efek farmakologi (khasiat) dari obat tersebut.
Meningkatkan efek samping yang ditimbulkan, secara umum efek samping tipe A ini
tidaklah berat. Contohnya penggunaan fenotiasin dapat menimbulkan
ekstrapiramidal karena efek anti kolinergiknya, penurunan dosis berkemungkinan
dapat menurunkan efek sampingnya.
Peningkatan efek farmakologi melebihi normal suatu obat pada
dosis terapi yang dianjurkan, seperti bradikardia pada pengguna antagonist
beta-adrenoseptor dan perdarahan pada pengguna antikoagulan. Mudah diduga
(prediktabilitas tinggi) melalui pengenalan efek farmakologi obat yang
bersangkutan, biasanya tergantung pada dosis yang digunakan. Insiden dan
mordibitasnya tinggi tetapi umumnya memiliki angka mortalitas yang rendah.
Sering timbul akibat perubahan farmakokinetik obat oleh penyakit atau
farmakoterapi yang bersamaan.
Efek Samping Tipe A bersifat intrinsik, bergantung dari
konsentrasi, dosis, serta bahan-bahan kimia yang dikandung oleh suatu jenis
obat. Umumnya merupakan kelanjutan khasiat terapetik. Kejadiannya dapat
diprediksi sebelumnya. Insidens tipe ini paling tinggi. Reaksi-reaksi ini dapat
diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder obat dan biasanya
tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia dengan
hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini harus
diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi dosis.
Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder
obat dan biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk
hipoglikemia dengan hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi.
Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi
dosis.
2. Obat
Tipe B
ESO type B (ESO dose Independent)
ialah ESO yang merupakan suatu respon jarang atau tidak umum terjadi dan
tidak dapat diduga sebelumnya. Si ESO tipe B tidak berhubungan dengan khasiat
farmakologik obat, dan yang terjadi tidak bergantung pada dosis. Reaksi ini lebeh
jarang terjadi (dibanding dengan tipe A), tetapi lebih sering bersifat fatal.
Reaksi tipe B ini biasanya berat, bahkan sering menyebabkan
kematian dan pengurangan dosis tidak bermanfaat untuk mengurangi efek amping.
Oleh karene itu, pemberian obat harus segera dihentikan. Reaksi tipe B ini
umumnya bersifat imunologik dan dapat timbul sebagai syok anafilakti atau
hiperfeleksi maligna.
Untuk menghindari dan untuk kewaspadaan kita terhadap reaksi
tipe B ini.diperlukan data-gata berisi informasi mengenai ESO yang telah
dilaporkan dari pengalaman pemakaian obat, atau dari evaluasi pemakaian obat.
3. Obat
Tipe C (Chronic)
Reaksi
yang terkait dengan penggunaan obat jangka lama, contohnya adalah
ketergantungan Benzodiazepine, chloroquine dan analgesik nefropati (kerusakan
pada ginjal). Reaksi-reaksi dapat dijelaskan dengan baik dan kronik
tetapi dapat diantisipasi.
Benzodiazepine
biasanya digunakan untuk gangguan kecemasan, insomnia, gangguan kejang,
gangguan suasana hati, gangguan gerakan, intoksikasi (keracunan) dan melepaskan
ketergantungan terhadap alcohol dan zat lainnya. Contoh obat jenis ini adalah
alprazolam, bromazepam, chloridazepoxide, clobazam, clonazepam, clorazepate, diazepam,
dll.
Chloroquine
biasanya digunakan untuk pencegahan malaria dan sebagai
modifikasi obat anti rematik. Obat populer berdasarkan Chloroquine adalah
Klorokuin FNA, resochin dan Dawaquin.
4. Obat Tipe D
Efek samping obat tertunda/lambat
yang terjadi beberapa tahun setelah terapi seperti karsinogen (penyabab kanker)
dan teratogen. Diperkirakan bahwa toksisitas tersebut dihalangi oleh penelitian
mutagenisitas praklinis. Penelitian karsinogen untuk senyawa kimia baru perlu
dilakukan secara menyeluruh sebelum lisensi produk diberikan. Contohnya efek
samping obat diethystilbesterol. Diethystilbesterol digunakan untuk
indikasi vaginitis gonorrheal, vaginitis atrofi, gejala menopause, dan
postpartum menyusui penekanan untuk mencegah pembengkakan payudara.
5. Tipe E (Ending)
Efek
samping obat terjadi pada akhir terapi jika obat diberhentikan secara
mendadak/tiba-tiba. Contohnya pada penggunaan steroid yang meng-induced
cushing syndrome. Sindrom Cushing menjelaskan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan kontak yang
terlalu lama dengan tingkat tinggi
terhadap hormon kortisol. Kortisol adalah hormon steroid, lebih khusus glukokortikoid
yang diproduksi oleh fasciculata zona korteks adrenal.
6. Efek samping yang paling sering muncul, yaitu sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan
terasa tidak enak, selain itu ada beberapa efek samping lain yang lazim muncul,
yaitu:
a. Kelelahan
Obat dapat menyebabkan tubuh menjadi
lemas sehingga badan menjadi terasa lelah.
b. Anemia
Merupakan
salah satu yang menyebabkan tubuh kita merasa lelah.
c. Masalah
pencernaan
Banyak obat yang dapat menimbulkan
rasa nyeri pada perut. Obat dapat menyebabkan mual, muntah, kembung, atau
diare.
d. Perut
kembung
Dapat dikurangi dengan menghindari
makanan seperti buncis, beberapa macam sayuran mentah dan kulit sayuran
e. Diare
Diare dapat berkisar antara ringan
sampai berat. Jika berat segeralah periksa ke dokter. Jangan lupa perbanyak
minum air putih.
f. Lipodistrofi
Yaitu kehilangan lemak pada lengan,
kaki dan wajah, penambahan lemak pada perut atau dibelakang leher dan
peningkatan lemak (kolesterol) dan gula (glukosa) dalam darah. Perubahan ini
dapat meningkatkan resiko serangan jantung atau serangan otak.
g. Tingkat
lemak atau gula yang tinggi dalam darah
Termasuk kolesterol,trigliserida dan
glukosa. Masalah ini dapat meningkatkan resiko penyakit jantung.
h. Masalah
kulit
Beberapa obat menyebabkan ruam
(gatal-gatal pada kulit), ada yang bersifat sementara , tetapi dapat
menimbulkan reaksi berat. Periksalah ke dokter jika mengalami ruam. Selain itu
obat juga dapat menyebabkan kulit kering dan rambut rontok. Pelembab kulit
dapat membantu masalah kulit.
i. Neuropati
Neuropati adalah penyakit yang
sangat nyeri disebabkan oleh kerusakan saraf. Penyakit ini biasanya dimulai
dari kaki dan tangan.
j. Toksisitas
mitokondria
Toksisitas mitokondria merupakan kerusakan
rangka dalam sel. Penyakit ini dapat menyebabkan neuropati atau kerusakan pada
ginjal dan dan dapat meningkatkan asam laktit dalam tubuh.
k. Osteoporosis
Pada
penderita HIV obat dapat menyebabkan mineral tulang hilang dan tulang menjadi
rapuh.
B. Management Efek Samping Obat (ESO)
a)
ESO yang bersifat cepat dan
dengan keparahan tinggi harus segera diberi tindakan, misalnya : anaphylactic
shock
b)
Segera hentikan semua obat yang
utama digunakan
c)
Lakukan clinical benefit-risk
judgment
d)
Jika reaksi sebagai akibat dari
dosis à lakukan
penyesuaian dosis.
e)
Jika dengan menghentikan
obat-obatan ESO tetap ada, maka perlu diberikan terapi untuk mengatasi ESO.
f) Misal
: Mual/muntah yang hebat karena penggunaan obat anti kanker à berikan obat anti mual. Pantau
kondisi pasien sampai keadaan pulih kembali.
C. Evaluasi Efek Samping Obat (ESO)
n Setiap
kejadian ESO harus didokumentasikan
n Hasil
dokumentasi dilakukan review
n Farmasis
dapat mencegah ESO dengan cara skrining pasien meliputi : alergi obat,
interaksi obat, dosis yang benar, duplikasi pengobatan, dan kontraindikasi
n Institusi
dapat menggunakan data review ESO untuk menetapkan program DUE.
n Sebagai
bahan untuk pasien konseling
D.Perhatian terhadap efek samping obat :
Masalah efek
samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena
kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
a)
Kegagalan
pengobatan,
b) Timbulnya
keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease
atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,
c)
Pembiayaan yang
harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau
timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
d) Efek psikologik
terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut
misalnya menurunnya kepatuhan berobat.
E. Efek samping obat yang tidak bisa diperkirakan meliputi :
- Reaksi alergi
Alergi obat
atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan
terjadi akibat reaksi
imunologik.
Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak
tergantung dosis, dan terjadi hanya
pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat
bervariasi dari bentuk yang
ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok
anafilaksi yang bisa fatal.
Reaksi alergi
dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
- gejalanya
sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
- seringkali
terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya
efek,
- reaksi dapat
terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat,
- reaksi hilang
bila obat dihentikan,
-
keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya
rash (=ruam) di kulit,
serum sickness,
anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
Dikenal 4 macam
mekanisme terjadinya alergi, yakni:
Tipe
I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan
leukosit basofil
dengan obat
atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya
histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa
berupa urtikaria, rinitis, asma
bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang
paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin,
streptomisin, anestetika
lokal, media kontras yang mengandung jodium.
Tipe
II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi
dengan obat,
membentuk
kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia
karena kuinidin/kinin,
digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin,
sefalosporin, rifampisin,
kuinin dan kuinidin, dll.
Tipe
III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi
IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian
kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium
kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi,
urtikaria, dan ruam
makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness",
karena umumnya muncul setelah
penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe
IV. Reaksi dengan media sel: yaitu
sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru
menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi.
Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin,
antibiotik dan antifungi topikal.
Walaupun
mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di
atas, namun dalam praktek klinik
manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya
akan meliputi:
1.
Demam.
Umumnya demam
dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya
setelah penghentian
obat beberapa hari.
2.
Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat
berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan
dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas,
erupsi, dll.
3.
Penyakit jaringan ikat.
Merupakan
gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat
terjadi pada pemberian
hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat (lihat
II.2.b.).
4.
Gangguan sistem darah.
Trombositopenia,
neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek
yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif
jarang.
5.
Gangguan pernafasan:
Asma akan
merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang
telah diketahui
sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap
analgetika atau antiinflamasi
lain.
.b. Reaksi
karena faktor genetik
Pada
orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin
dapat memberikan efek
farmakologik
yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang
mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa
pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan
kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
- Pasien yang
menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin
(suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita
paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
-
Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase)
mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan
primakuin, sulfonamida dan kinidin.
Kemampuan
metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik.
Contoh yang paling
populer adalah
perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena
adanya peristiwa
polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat
genetik yang dimiliki, populasi
terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi
secara cepat asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara
lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator
cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik
lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak
dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh
misalnya:
-
neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator
lambat,
-
sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada
asetilator lambat.
Pemeriksaan
untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau
lambat sampai
saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan,
namun sebenarnya prosedur
pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi
Klinik.
c.
Reaksi idiosinkratik
Istilah
idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang
tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau
diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik
ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:
- Kanker pelvis
ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
- Kanker uterus
yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian
progestogen sama sekali.
- Obat-obat
imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
-
Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat
penyuntikan.
- Kanker tiroid
yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif
sebelumnya.
---------------- semoga bermanfaat ----------------------