Monday 20 February 2017




 EFEK SAMPING OBAT YANG TIDAK BISA DIPERKIRAKAN 

 Macam-macam Efek Samping

Mekanisme reaksi efek samping obat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu reaksi intrinsic (reaksi yang bisa diprediksi) dan reaksi idiosyncratic (reaksi yang tidak bisa diprediksi).Ada 2 faktor yang menjadi penyebab munculnya Efek samping yaitu :
1.  Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2. Faktor obat
a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b) Pemilihan obat.
c) Cara penggunaan obat.
d) Interaksi antar obat.


Berikut ini beberapa pengelompokan efek samping obat yang lain:



1.     Obat Tipe A


Efek Samping Tipe A adalah efek samping yang sudah terdeteksi saat uji klinik, berkaitan dengan dosis (dose-related) dan timbul berkaitan dengan efek farmakologi (khasiat) dari obat tersebut. Meningkatkan efek samping yang ditimbulkan, secara umum efek samping tipe A ini tidaklah berat. Contohnya penggunaan fenotiasin dapat menimbulkan ekstrapiramidal karena efek anti kolinergiknya, penurunan dosis berkemungkinan dapat menurunkan efek sampingnya.
Peningkatan efek farmakologi melebihi normal suatu obat pada dosis terapi yang dianjurkan, seperti bradikardia pada pengguna antagonist beta-adrenoseptor dan perdarahan pada pengguna antikoagulan. Mudah diduga (prediktabilitas tinggi) melalui pengenalan efek farmakologi obat yang bersangkutan, biasanya tergantung pada dosis yang digunakan. Insiden dan mordibitasnya tinggi tetapi umumnya memiliki angka mortalitas yang rendah. Sering timbul akibat perubahan farmakokinetik obat oleh penyakit atau farmakoterapi yang bersamaan.
Efek Samping Tipe A bersifat intrinsik, bergantung dari konsentrasi, dosis, serta bahan-bahan kimia yang dikandung oleh suatu jenis obat. Umumnya merupakan kelanjutan khasiat terapetik. Kejadiannya dapat diprediksi sebelumnya. Insidens tipe ini paling tinggi. Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder obat dan biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia dengan hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi dosis. Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder obat dan biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia dengan hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi dosis.



2.   Obat Tipe B
ESO type B (ESO dose Independent) ialah ESO  yang merupakan suatu respon jarang atau tidak umum terjadi dan tidak dapat diduga sebelumnya. Si ESO tipe B tidak berhubungan dengan khasiat farmakologik obat, dan yang terjadi tidak bergantung pada dosis. Reaksi ini lebeh jarang terjadi (dibanding dengan tipe A), tetapi lebih sering bersifat fatal.
Reaksi tipe B ini biasanya berat, bahkan sering menyebabkan kematian dan pengurangan dosis tidak bermanfaat untuk mengurangi efek amping. Oleh karene itu, pemberian obat harus segera dihentikan. Reaksi tipe B ini umumnya bersifat imunologik dan dapat timbul sebagai syok anafilakti atau hiperfeleksi maligna.
Untuk menghindari dan untuk kewaspadaan kita terhadap reaksi tipe B ini.diperlukan data-gata berisi informasi mengenai ESO yang telah dilaporkan dari pengalaman pemakaian obat, atau dari evaluasi pemakaian obat.

3.    Obat Tipe C (Chronic)
Reaksi yang terkait dengan penggunaan obat jangka lama, contohnya adalah ketergantungan Benzodiazepine, chloroquine dan analgesik nefropati (kerusakan pada ginjal). Reaksi-reaksi dapat  dijelaskan dengan baik dan kronik tetapi dapat diantisipasi.
Benzodiazepine biasanya digunakan untuk gangguan kecemasan, insomnia, gangguan kejang, gangguan suasana hati, gangguan gerakan, intoksikasi (keracunan) dan melepaskan ketergantungan terhadap alcohol dan zat lainnya. Contoh obat jenis ini adalah alprazolam, bromazepam, chloridazepoxide, clobazam, clonazepam, clorazepate, diazepam, dll.
Chloroquine biasanya digunakan untuk  pencegahan malaria dan sebagai   modifikasi obat anti rematik. Obat populer berdasarkan Chloroquine adalah  Klorokuin FNA, resochin dan Dawaquin.

4.    Obat Tipe D
Efek samping obat tertunda/lambat yang terjadi beberapa tahun setelah terapi seperti karsinogen (penyabab kanker) dan teratogen. Diperkirakan bahwa toksisitas tersebut dihalangi oleh penelitian mutagenisitas praklinis. Penelitian karsinogen untuk senyawa kimia baru perlu dilakukan secara menyeluruh sebelum lisensi produk diberikan. Contohnya efek samping obat diethystilbesterol. Diethystilbesterol  digunakan untuk indikasi vaginitis gonorrheal, vaginitis atrofi, gejala menopause, dan postpartum menyusui penekanan untuk mencegah pembengkakan payudara.

5.  Tipe E (Ending)
Efek samping obat terjadi pada akhir terapi jika obat diberhentikan secara mendadak/tiba-tiba. Contohnya pada penggunaan steroid yang meng-induced cushing syndrome. Sindrom Cushing menjelaskan tanda-tanda dan  gejala yang berhubungan dengan kontak yang terlalu lama dengan tingkat  tinggi terhadap hormon kortisol. Kortisol adalah hormon steroid, lebih khusus  glukokortikoid yang diproduksi oleh fasciculata zona korteks adrenal.

6.           Efek samping yang paling sering muncul, yaitu sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak, selain itu ada beberapa efek samping lain yang lazim muncul, yaitu:
a.   Kelelahan
Obat dapat menyebabkan tubuh menjadi lemas sehingga badan menjadi terasa lelah.
b.   Anemia
Merupakan salah satu yang menyebabkan tubuh kita merasa lelah.
c.    Masalah pencernaan
Banyak obat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada perut. Obat dapat menyebabkan mual, muntah, kembung, atau diare.
d.    Perut kembung
Dapat dikurangi dengan menghindari makanan seperti buncis, beberapa macam sayuran mentah dan kulit sayuran
e.   Diare
Diare dapat berkisar antara ringan sampai berat. Jika berat segeralah periksa ke dokter. Jangan lupa perbanyak minum air putih.
f.   Lipodistrofi
Yaitu kehilangan lemak pada lengan, kaki dan wajah, penambahan lemak pada perut atau dibelakang leher dan peningkatan lemak (kolesterol) dan gula (glukosa) dalam darah. Perubahan ini dapat meningkatkan resiko serangan jantung atau serangan otak.
g.   Tingkat lemak atau gula yang tinggi dalam darah
Termasuk kolesterol,trigliserida dan glukosa. Masalah ini dapat meningkatkan resiko penyakit jantung.
h.    Masalah kulit
Beberapa obat menyebabkan ruam (gatal-gatal pada kulit), ada yang bersifat sementara , tetapi dapat menimbulkan reaksi berat. Periksalah ke dokter jika mengalami ruam. Selain itu obat juga dapat menyebabkan kulit kering dan rambut rontok. Pelembab kulit dapat membantu masalah kulit.
i.    Neuropati
Neuropati adalah penyakit yang sangat nyeri disebabkan oleh kerusakan saraf. Penyakit ini biasanya dimulai dari kaki dan tangan.
j.     Toksisitas mitokondria
Toksisitas mitokondria merupakan kerusakan rangka dalam sel. Penyakit ini dapat menyebabkan neuropati atau kerusakan pada ginjal dan dan dapat meningkatkan asam laktit dalam tubuh.
k.     Osteoporosis
Pada penderita HIV obat dapat menyebabkan mineral tulang hilang dan tulang menjadi rapuh.

B. Management Efek Samping Obat (ESO)  
a)      ESO yang bersifat cepat dan dengan keparahan tinggi harus segera diberi tindakan, misalnya : anaphylactic shock
b)      Segera hentikan semua obat yang utama digunakan
c)      Lakukan clinical benefit-risk judgment
d)     Jika reaksi sebagai akibat dari dosis à lakukan penyesuaian dosis.
e)      Jika dengan menghentikan obat-obatan ESO tetap ada, maka perlu diberikan terapi untuk mengatasi ESO.
f)       Misal : Mual/muntah yang hebat karena penggunaan obat anti kanker à berikan obat anti mual. Pantau kondisi pasien sampai keadaan pulih kembali.

C. Evaluasi  Efek Samping Obat (ESO)
n  Setiap kejadian ESO harus didokumentasikan
n  Hasil dokumentasi dilakukan review
n  Farmasis dapat mencegah ESO dengan cara skrining pasien meliputi : alergi obat, interaksi obat, dosis yang benar, duplikasi pengobatan, dan kontraindikasi
n  Institusi dapat menggunakan data review ESO untuk menetapkan program DUE.
n  Sebagai bahan untuk pasien konseling

D.Perhatian terhadap efek samping obat :

Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
a)      Kegagalan pengobatan,
b)  Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,
c)      Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
d)    Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.

E. Efek samping obat yang tidak bisa diperkirakan meliputi : 
  1.  Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi
imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal.
Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
- gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
- seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek,
- reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat,
- reaksi hilang bila obat dihentikan,
- keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit,
serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil
dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.
Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat,
membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.
Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.

Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi:
1. Demam.
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
2. Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll.
3. Penyakit jaringan ikat.
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat (lihat II.2.b.).
4. Gangguan sistem darah.
Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
5. Gangguan pernafasan:
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.

.b. Reaksi karena faktor genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek
farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
- Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
- Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling
populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
- neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat,
- sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.
 
c. Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:
- Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
- Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.
- Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
- Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.
- Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.



---------------- semoga bermanfaat ----------------------